25 Desember 2008

Surat Cinta untuk Mantan Kekasih

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dik, bagaimana kabarmu di sana? Ah, aku memang tak punya kata-kata lain untuk membuka surat ini selain menanyakan kabarmu. Semoga kamu baik-baik saja ya. Terus dalam lindungan Yang Mahakuasa, tetap diberikan limpahan rahmat dan barakahNya.



Dik, tidak terasa sudah satu tahun kita berpisah dan tak lagi bersama. Entah bagaimana aku menyebutmu sekarang. Dulu aku selalu memanggilmu kekasih, sekarang aku terpaksa menyebutmu mantan kekasih. Ah, aku tak punya perbendaharaan kata lagi, kecuali menyebut dirimu dengan mantan kekasih. Entah kau akan kecewa atau sakit hati dengan sebutan ini. Biarlah, karena memang begitu keadaannya.



Memang sulit untuk menerima diri disebut sebagai mantan. Orang-orang, apalagi yang punya jabatan, selalu lupa bahwa waktu kadang membatasi kemampuan mereka. Yang dulu duduk di singgasana, sekarang justru menjadi pesakitan. Yang dulu jadi bos, sekarang terlunta-lunta tak punya pekerjaan. Yang dulu pernah jadi ketua, kini tak betah hanya jadi penasihat. Atau yang dulu pernah jadi orang tenar, sekarang tak ada lagi mata yang meliriknya. Sedih ya, Dik.



Tapi, mungkin tidak begitu dengan suami istri yang sontoloyo. Sekarang orang-orang sudah lebih suka mengikuti gaya barat. Orang-orang suka berkawin cerai seenaknya hanya karena uruisan tetek bengek. Tak ada lagi rasa aib jika pernikahan yang dulu dirajut dengan kesucian justru terenggut oleh nafsu dunia yang fana. Tentang urusan harta, tahta, atau wanita lain yang lebih istimewa. Padahal, bukankah cerai itu hal yang dibolehkan tapi dibenci Tuhan?



Mending kalau perceraian itu dilakukan baik-baik demi kebaikan semua pihak. Orang-orang sekarang memang sudah jungkir balik. Lebih suka mempertontonkan aib sendiri di hadapan mata banyak orang. Si istri menuding suami berbuat tak layak. Suami yang tak rela disebut begitu, balas menghujam sang istri dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Semua orang menontonnya di televisi. Memangnya apa yang mereka cari dari pernikahan? Bukankah restu Tuhan?



Aku ingat satu hal jika menyebut kata “mantan”, Dik. Dari kecil, bukankah kita tak diperkenankan menyebut guru kita sebagai mantan guru, sekalipun kita telah menjadi orang besar dan lebih besar darinya? Aku ingat itu, Dik, saat Pak Marjono menguraikan kisahnya di kelas waktu kita hendak lulus SMA. Apa iya yang demikian itu masih ada ya, Dik? Sekarang murid-murid sudah seperti koboi barat. Tingkah lakunya tak lagi sesopan murid zaman dulu. Aku ingat, dulu tak ada yang berani melawan titah guru. Sekarang, walaupun sang guru sudah melunak selunak-lunaknya, murid masih saja kurang ajar. Dikiranya guru hanyalah pemberi materi. Padahal, guru adalah penyalur ilmu. Barangsiapa tak menghormati ilmu dan yang mengajarkan ilmu, mungkinkah ia akan mendapat manfaat dari ilmu itu?



Sedangkan murid bisa kapan saja berganti rupa menjadi mantan murid. Akhir-akhir ini, orang-orang justru amat ingin lekas menjadi mantan murid. Mereka ingin lulus secepatnya, mengantongi ijazah, dan pergi ke manapun mereka suka. Entah dengan mencontek atau berkoalisi dengan sang guru, mereka tempuh segala cara. Meski ada yang jujur, tapi hitungannya tak seberapa. Hampir semua mengambil jalan yang keliru.



Mereka terlalu takut pada kata “UN”. Bagi mereka, UN adalah momok. Buat sekolah, siswa yang tak lulus UN menjadi aib bagi prestise sekolah. Sedangkan bagi siswa, tak lulus UN bisa jadi akhir riwayat hidup mereka. Atau mereka akan sibuk menanggung malu, setidaknya untuk satu tahun ke depan.



Terlepas dari kontroversi UN, aku lebih suka mengamati kemunduran bangsa ini. Bangsa kita sudah kehilangan orientasinya. Ingin menjadi maju, tapi tak prnah berupaya sepenuh hati untuk mengambil langkah maju. Kita lebih suka bergaya dengan gaya barat, meniru habis-habisan tradisi dan budaya barat yang belum tentu sehati dengan keadaan bangsa ini. Orang-orang sibuk menyebut dirinya sebagai penyelamat bangsa dan bhineka tunggal ika, namun suka berseronok dengan budaya barat yang kadangkala lebih tepat disebut “tak berbudaya”.



Ah, Dik. Aku jadi ngelantur begini. Bukan maksudku untuk menyakiti hatimu dengan menulis surat ini. Aku hanya ingin menyatakan bahwa sampai kapanpun, aku akan mencintaimu sebagai mantan kekasih. Ya, mantan kekasih.



Kalau begini, aku selalu ingat betapa dulu aku mati-matian mendekatimu. Aku tahu cinta itu kadang membuat pikiran tak sadar dan mabuk kepayang. Aku selalu stress waktu mengingat Paijan, teman sekelas kita, yang cintanya ditolak Sriti. Dia berlari berkeliling lapangan hanya dengan pakaian dalamnya, berputar-putar tidak karuan, lalu menangis tak henti-henti. Aku heran, juga takut. Benarkah cinta sebegitu hebatnya sampai-sampai membuat seorang lelaki yang gagal melepaskan peluru dengan benar saat menembak justru terluka oleh pelurunya sendiri. Tapi, aku lalu lega. Karena Paijan segera sembuh dari “sakit”-nya. Dia kembali seperti sediakala dalam dua hari. Dia masih bisa tertawa. Dan dia masih hidup. Sampai sekarang. Aku lega. Aku pun menembakmu, sedangkan kau tak pernah menyediakan tameng atau rompi anti peluru. Kau mati di pelukanku…



Lalu hanya karena cekcok, kita merasa tak cocok. Kita bubar. Dan aku menyebutmu mantan pacar. Beginilah hidup, kata Mak. Manis dan pahit kadang tak punya beda. Aku hanya heran pada diriku sendiri. Mengapa aku menempuh jalan ini, Dik? Bukankah kata Bapak, jodoh itu sudah ada di tangan Tuhan? Bukankah Dia selalu tahu apa yang terbaik buat kita? Lalu mengapa kita sibuk mengkhawatirkan diri, takut tidak mendapat seseorang pun untuk menemani hidup nanti?



Ah, bukankah kau pernah bertanya padaku tentang itu, Dik? Tentang jodoh dan kematian. Tentang rizki dan pekerjaan. Aku pernah menjawabnya dan kau mengangguk-anggukkan kepala. Kau ingat? Lalu kita berpisah, untuk menyucikan diri kita masing-masing. Aku di sini, sekarang, dan kau entah di mana. Yang pasti, kau bilang bahwa kau ingin berhias diri sebelum pangeranmu yang sesungguhnya datang. Entah aku, entah yang lain. Siapa yang tahu? Kita hanya menjalaninya saja, berusaha agar tak terperosok dalam dosa dan nista. Berusaha mencari jalan positif untuk menggapai tujuan. Tuhan sudah menyiapkannya masing-masing untuk kita, bukan? Bukankah begitu?



Dik, mungkin sekian dulu surat Mas-mu ini. Ups, aku masih sering terbawa… Terserah kamu saja mau memanggilku apa. Mas atau apa. Aku tak pernah memaksa. Sesukamu saja.



Maafkan aku bila ada rasa yang tertawan hingga saat ini. Maafkan aku juga, aku tak pernah punya pulsa untuk sekadar menanyakan bagaimana kabarmu sekarang. Karena, terus terang, aku tak tahu nomor teleponmu yang sekarang. Aku juga tak tahu, siapa namamu sekarang. Jadi, aku bingung, pada siapa aku harus bertanya. Memencet nomor polisi untuk bertanya? Percuma saja. Bahkan, aku tak ingat siapa namamu, bagaimana ciri wajahmu. Aku juga tak lagi ingat, kau mantan kekasihku yang keberapa…



Ah, Dik… Aku meracaumu malam ini. Kututup saja surat ini. Mudah-mudahan sampai padamu. Siapapun kau, di manapun kau. Jaga dirimu baik-baik.



Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Mas-mu,

djokokororet



NB: Dik, bumi berguncang lagi. Mungkin akan segera kiamat. Kutanya kau, sudahkah kita bertaubat. Segerakan saja… sebelum terlambat

Selengkapnya......